Pesantren dan Masyarakat 5.0: Pertemuan Positivisme, Postmodernisme, dan Perenialisme Islam
Oleh: Asrul Maaliy – Mahasiswa S2 Teknologi Informasi, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
Beberapa waktu lalu, publik diguncang oleh tayangan salah satu program di Trans7 yang menggambarkan kehidupan pesantren secara karikatural. Santri tampil sebagai sosok lucu, berpakaian sarung, berbicara dengan logat khas daerah seolah pesantren hanyalah dunia sederhana tanpa intelektualitas. Tayangan ini tampak sepele, namun sesungguhnya memperlihatkan ketegangan epistemologis antara dua dunia: budaya pesantren yang berakar pada nilai dan spiritualitas, dan budaya masyarakat 5.0 yang lahir dari rasionalitas teknologis dan logika data.
1. Positivisme dan Krisis Makna dalam Masyarakat 5.0
Filsafat positivisme, yang lahir dari pemikiran Auguste Comte pada abad ke-19, menempatkan kebenaran hanya pada apa yang dapat diukur, diamati, dan diverifikasi secara empiris. Inilah fondasi sains modern dan juga dasar dari sistem teknologi cerdas di masyarakat 5.0. Dunia digital hari ini diatur oleh algoritma yang beroperasi seperti positivisme baru: hanya yang dapat dihitung, yang dianggap nyata.
Media sosial, misalnya, menilai nilai suatu gagasan bukan dari kebenarannya, melainkan dari jumlah tayangan, like, dan share. Akibatnya, nilai berubah menjadi angka, dan makna kehilangan kedalamannya. Ketika Trans7 menampilkan pesantren hanya sebagai “konten hiburan”, ia sejatinya sedang bekerja dalam logika positivistik yang mana memotong realitas pesantren menjadi data visual yang bisa dijual di pasar popularitas.
Padahal, dalam tradisi pesantren, ilmu tidak pernah netral atau bebas nilai. Pengetahuan selalu diiringi niat, adab, dan tanggung jawab moral. Di sinilah benturan epistemologis itu muncul: sains modern mengukur kebenaran dari observasi; pesantren mengukur kebenaran dari keikhlasan.
2. Postmodernisme: Kritik atas Hegemoni Teknologi dan Media
Jika positivisme adalah akar dari masyarakat data, maka postmodernisme hadir sebagai kritik atas keangkuhan rasionalitas modern. Jean-François Lyotard menyebut zaman ini sebagai masa “akhir dari narasi besar” yakni runtuhnya klaim kebenaran tunggal. Michel Foucault menambahkan bahwa pengetahuan modern seringkali hanya alat kekuasaan; siapa yang menguasai wacana, menguasai realitas.
Dalam konteks media digital, kritik ini menjadi sangat relevan. Tayangan televisi, algoritma YouTube, hingga AI yang mengatur rekomendasi konten adalah bentuk baru “rezim kebenaran”. Mereka tidak lagi menampilkan realitas, tetapi menciptakan realitas sesuai dengan kepentingan pasar dan kekuasaan algoritmik.
Pesantren menjadi korban dari proses ini: ia direpresentasikan bukan sebagaimana adanya, melainkan sebagaimana media ingin menampilkannya. Dalam bahasa Baudrillard, kita hidup di dunia simulakra, di mana tanda lebih berkuasa daripada makna.
Namun, postmodernisme tidak hanya mengkritik; ia juga membuka ruang baru untuk melihat realitas dari banyak perspektif. Di titik inilah, pesantren dapat tampil sebagai “alternatif epistemologi” sebuah sistem pengetahuan yang tidak tunduk pada logika pasar dan mesin, melainkan berakar pada nilai kemanusiaan dan spiritualitas.
3. Perenialisme Islam: Menyatukan Akal, Etika, dan Ruh
Di tengah dominasi sains modern dan kekacauan makna postmodern, filsafat perenialisme Islam yang diwakili oleh pemikir seperti Seyyed Hossein Nasr dan Syed Muhammad Naquib al-Attas menawarkan jalan ketiga: rekonsiliasi antara ilmu dan nilai, antara rasio dan wahyu.
Perenialisme Islam memandang bahwa pengetahuan sejati selalu bersumber dari satu pusat: Tuhan sebagai Kebenaran Mutlak (al-Haqq). Sains dan teknologi tidak salah, tetapi kehilangan ruh jika dipisahkan dari kesadaran ilahiah. Ilmu tanpa tauhid hanyalah mekanisme kosong.
Dalam tradisi pesantren, semangat ini hidup dalam praktik sehari-hari. Proses belajar mengaji bukan sekadar transfer informasi, tetapi tazkiyah al-nafs penyucian jiwa. Diskusi (bahtsul masail) bukan sekadar debat rasional, melainkan latihan berpikir etis. Sistem sanad keilmuan memastikan bahwa ilmu disampaikan dengan keberkahan dan tanggung jawab moral, bukan sekadar akurasi intelektual.
Dengan pendekatan perenial, pesantren bukanlah sisa masa lalu, melainkan model masa depan: integratif, holistik, dan berakar pada kesatuan antara ilmu, amal, dan iman. Dalam masyarakat 5.0 yang penuh data tetapi miskin makna, paradigma ini justru menawarkan keseimbangan yang dibutuhkan dunia modern.
4. Menuju Masyarakat 5.0 yang Beradab
Masyarakat 5.0 sering digambarkan sebagai era ketika teknologi melayani manusia. Namun, tanpa fondasi etika dan spiritualitas, yang terjadi justru sebaliknya: manusia melayani teknologi. Pesantren menawarkan jalan untuk mengembalikan keseimbangan ini melalui prinsip adab sebelum ilmu.
Dalam konteks digital, adab berarti etika sebelum algoritma. Santri yang terbiasa menjaga lisan diajarkan bahwa kata adalah amanah; begitu pula dalam ruang digital, setiap unggahan harus ditimbang dengan tanggung jawab moral. Prinsip kejujuran, kesungguhan (mujahadah), dan ikhlas dalam belajar dapat diterjemahkan sebagai integritas ilmiah dan tanggung jawab sosial dalam dunia sains modern.
Pesantren tidak menolak teknologi yang mana ia menginsanisasikannya. Kanal YouTube, podcast, dan media dakwah digital yang dikelola pesantren menunjukkan bahwa spiritualitas dan teknologi tidak perlu bertentangan. Yang dibutuhkan adalah orientasi nilai: teknologi untuk kemanusiaan, bukan kemanusiaan untuk teknologi.
5. Kesimpulan: Kecerdasan Hati di Era Data
Kritik terhadap Trans7 hanyalah pintu masuk untuk memahami benturan besar antara paradigma modern dan tradisi Islam. Di satu sisi, positivisme membangun dunia yang efisien namun dangkal. Di sisi lain, postmodernisme mengguncang fondasi makna dengan relativisme. Di tengah keduanya, perenialisme Islam menawarkan keseimbangan: menyatukan akal dan hati, sains dan nilai, data dan doa.
Pesantren, dalam konteks ini, bukanlah nostalgia masa lalu, tetapi kompas moral masyarakat digital. Ia mengingatkan bahwa kemajuan sejati tidak diukur dari seberapa canggih mesin berpikir, melainkan seberapa jernih hati manusia yang menggunakannya.
Dalam era masyarakat 5.0, mungkin sudah saatnya kita belajar bukan hanya dari algoritma, tetapi dari hikmah. Sebab, masa depan yang manusiawi hanya bisa lahir dari sains yang berhati dan teknologi yang beradab.
🕊️ Kata Kunci: Pesantren, Positivisme, Postmodernisme, Perenialisme Islam, Masyarakat 5.0, Etika Digital, Spiritualitas Ilmu
Placeholder text by Space Ipsum · Images by NASA on The Commons
Reading Count: 90